Friday, August 5, 2011

'Transformers: Dark of the Moon': Pertarungan yang Memanjakan Mata



Jakarta - Bagaimana jika ternyata misi Apollo 11 menemukan sesuatu yang dirahasiakan sejak lama, yaitu tentang pesawat ruang angkasa raksasa dengan robot besar di dalamnya? The Ark, nama kapal itu, adalah harapan terakhir Planet Cybertron yang dipimpin Sentinel Prime yang Agung. Itulah rahasia yang disimpan Neil Armstrong (Don Jeanes) dan Buzz Aldrin (Cory Tucker) selama berpuluh-puluh tahun.

Dan, bagaimana jika Chernobyl yang tercemar nuklir itu ternyata adalah sarang alien berwujud raksasa untuk mewujudkan misi rahasia besar�di antaranya, membunuhi para ilmuwan yang terlibat dengan misi NASA 1969)-- yang dijaga oleh robot gagak keren bernama Shockwave? Permainan "what if" macam ini begitu menyenangkan dan hadir di 'Transformers: Dark of the Moon'.

Gaya teori konspirasi macam itu diperkaya dengan footage dari kejadian nyata, mulai dari pidato John F Kennedy (1961, kala masih berupa konsep), Richard Nixon (1969, peluncuran Apollo 11), hingga Obama (ketika sang tokoh utama mendapatkan medali darinya). Inilah kelebihan pertama film duet sutradara Michael Bay dan produser Steven Spielberg.

Kelebihan kedua adalah teknologi dan peralatan supercanggih dari para robot raksasa itu, baik dari pihak yang benar (The Autobot pimpinan Optimus Prime), atau pun antagonisnya (Decepticon di bawah Megatron). Kita lihat Bumblebee kini menjadi 2011 Chevrolet Camaro, dan Sideswipe berubah menjadi Chevrolet Centennial Corvette Convertible. Atau, para autobot mini yang bisa berubah menjadi laptop.

Kelebihan ketiga film ini adalah pertarungan yang mencengangkan dan memanjakan mata; bagaimana Chicago dan Washington DC menjadi ajang pertarungan futuristis. Juga, bagaimana patung Abraham Lincoln duduk yang terkenal itu dihancurkan. Dan, gedung pencakar langit di Chicago runtuh satu-persatu, dipermainkan oleh robot cacing gergasi.

Sayangnya, ketiga kelebihan itu tidak didukung oleh tulang-punggung sebuah film: skenario. Ceritanya yang formulaik (ingat 'Independent Day', 'Skyline', 'Cloverfield' ?) membuat film ini mudah ditebak alur dan bahkan akhirnya. Di sini, tokoh utama Sam Witwicky (Shia LaBeouf) yang baru lulus kuliah adalah pecundang yang diperlakukan senista mungkin�tentu saja untuk mendapatkan simpati dan belas kasihan dari para penonton.

Sam kini pengangguran dan ditolak berbagai perusahaan (karena idealismenya menggabungkan ilmu politik dengan sains futuristis?) Kalau pun dapat pekerjaan, ia hanya mendapatkan kerja kasar. Ia pun terpisahkan dari Optimus Prime dan pasukannya (Sideswipe, Enzo, Que, Ratchet, dan khususnya Bumblebee) yang mendapatkan tugas khusus intelijen di berbagai belahan dunia.

Pacar baru Sam, cewek Inggris Carly Spencer (Rosie Hungtington-Whitely) sebenarnya baik padanya tapi bos barunya, Dylan Gould (Patrick Dempsey) yang superkaya membuatnya terancam. Belum lagi Sekretaris Pertahanan Charlotte Mearing (Frances McDormand), pimpinan militer tertinggi, merendahkan dirinya.

Singkat cerita, The Ark dan Sentinel Prime (pemimpin tertinggi Autobot sebelum Optimus Prime) ini bahaya jika sampai ketahuan Decepticon, yang akan memakainya sebagai alat untuk menguasai bumi dan memperbudak manusia. Walau film ketiga ini lebih baik daripada yang kedua, film ini sangat panjang dan kedodoran di sana sini dalam menjaga "mood" penonton agar tetap merasakan ketegangan.

Akting para pemaiannya juga tidak bagus�apalagi si gadis Bond, eh Inggris--kecuali John Malkovich yang bermain sangat apik. Logika dalaman juga lemah, hingga tak cukup untuk menjelaskan mengapa A berbuat ini, atau B melakukan itu.

Jadi, sebaiknya, jangan banyak berharap pada cerita. Silakan saja terpesona dan termanjakan secara visual dan suara adegan perang dan pertarungan, serta keruntuhan kota Chicago. Dan, untuk memenuhi hal itu, format 3D menjadi pilihan yang tepat. Lalu, bagaimana dengan teori-teori konspirasi yang canggih tadi? Oh, itu ternyata cuma tempelan.

No comments:

Post a Comment